Selasa, 22 Januari 2013
Sejarah Kelahiran Desa Ciranjeng Kec. Cingambul Kab. Majalengka
NYUKCRUK GALUR NU KAPUNGKUR MAPAY LACAK NU BAHEULA
APAL KANA SEJARAH HARTINA APAL KANA DIRINA SORANGAN
Dipedar ku runtuyan Karuhun Singawadana
Pamayor
A. Desa Ciranjeng. Ciranjeng berasal dari kata Ci (Cai) dan Ranjeng artinya mengalir. Jadi Ciranjeng atinya air yang mengalir. Dikatakan demikian karena menurut cerita rakyat sawah Talaga dulunya merupakan telaga/situ yang airnya mengalir atau ngambul ke selatan yang sekarang disebut Cingambul.
Melihat keadaan demikian, Singawadana salah satu kepercayaan Kerajaan Talaga Manggung diperintahkan untuk mengatasi meluapnya air, dengan bantuan Kyai Jaga, Kyai Nalandaka dan Kyai Dinding Bilik maka air yang mengalir kearah Selatan itu dapat dipagar dengan anyaman bambo dan dialirkan kearah Campaga Talaga.
B. Siapakah Singawadana, Kyai Jaga, Kyai Nalandaka dan Kyai Dinding Bilik?
Untuk mengetahui siapa-siapa beliau itu marilah kita simak sejarah berdirinya kerajaan Talaga Manggung.
1. Raden Sudhayasa gelar Bhatara Gunung Bitung, putra Prabhu Suryadewata. Pemula pendiri “Kerajaan Talaga” itu disebut-sebut Batara (Bagawan) Gunung Bitung (ada yang menulis Batara Gunung Picung). Disebut demikian karena bermukim menjadi “batara” (bagawan) di Gunung Bitung (atau di Gunung Picung). Gunung Bitung itu terletak di perbatasan Kawali/Panjalu dan “Talaga” di daerah Cikijing sekarang, di sekitar desa Wangkelang. Nama desa Wangkelang ini mungkin berasal dari kata “wana + kalwang” alias hutan kalong, atau bisa juga dari “wangke” = bangkai, dan “lang” heulang/elang.
Dalam peta Cirebon th.1857 tak tersebut ada Gunung Bitung, yang ada Gunung Cendana. Di sekitar itulah yang disebut Gunung Bitung berada. Artinya, apa yang disebut “Gunung Tjendana” oleh Belanda itu sebenarnya Gunung Bitung (perbukitan tinggi yang banyak ditumbuhi bambu yang oleh orang Sunda disebut “awi bitung” atau “pring petung” kata orang Jawa). Gunung “Tjendana” alias Gunung Bitung di perbatasan Ciamis Cikijing. Batara Gunung Bitung ini nama aslinya, menurut Ali Sastramijaya, Raden Sudhayasa. Konon, menurut Ali Sastramijaya, Raden Sudhayasa ini menjadi batara (bagawan) Budha, atau disebut “Dang upacaka agung Buddhayana Sarwastiwada.” Jalan ceriteranya tidak jelas, sebab jika dilihat dari nama ayahnya (Prabhu Suryadewata) jelas ayahnya beragama Hindu (menggunakan nama Batara atau Dewa Surya).
2. Raden Darmasuci I. Pelanjut Batara Gunung Bitung adalah Raden Darmasuci I. Tidak ada kejelasan Darmasuci I ini menjadi apa dan di mana. Diduga ia menjadi “batara” juga dan masih di Gunung Bitung. Ali Sastramijaya menyebutnya menjadi batara Budhayana Sarwastiwada didaerah Talaga (mungkin hanya sekedar menyebut wilayah Talaga sekarang, atau menyebut “kerajaan Talaga”). Raden Darmasuci I banyak muridnya, karena ia “raja guru” (menurut istilah Ali Sastramijaya; sama dengan “mahaguru”) aliran Budhayana Sarwastiwada.
Tidak ada penjelasan nama asli Raden Darmasuci I ini. Darmasuci I jelas merupakan gelar pemerintahan, bukan nama asli. Oleh karena nantinya akan ada penerusnya yang bergelar sama (Darmasuci), maka di belakang namanya lazim dituliskan angka I (ke-1). Sebelum lanjut, ada yang menulis darma “dalam” agama Budha itu terbagi tiga tingkatan, yaitu darmabakti, darmasuci, dan darmaagung. Darmabakti merupakan darma rakyat biasa, berbakti pada sesama dan negara. Darmasuci merupakan darma dalam pemerintahan. Darmaagung di tingkat yang lebih tinggi, tidak cuma pemerintahan, melainkan sekaligus kebataran/kebagawanan.
Jika menyimak sebutannya sebagai “dharma suci,” tahap kedua dari kedarmaan Budha, yang mengandung arti berdarma dalam pemerintahan, mungkin Darmasuci I ini yang memulai mendirikan “kerajaan-kebataraan,” tapi belum menjadi suatu kerajaan yang kelak disebut “kasunanan”–dalam istilah masa agak baru, yang dikepalai oleh seorang sunan, dan bernama Talaga. Gunung Bitung relatif jauh dari “talaga” (situ) Sangiang.
Kemungkinan lain, Darmasuci I ini telah bergerak lebih ke utara dari Gunung Bitung dan bermukim di Darmalarang, Talaga, sekarang (“larang” dapat mengandung arti suci). Namanya Darmasuci, tempatnya Darmalarang. Atau, karena berada di Darmalarang maka sesebutannya Darmasuci.
3. Bagawan (Batara) Garasiang. Ada yang menyebutkan bahwa “pimpinan kerajaan” Talaga selanjutnya diteruskan oleh Bagawan Garasiang. Ini juga tentu bukan nama aslinya. Disebut Bagawan Garasiang karena ia membuat padepokan di Pasir Garasiang (Bukit Garasiang) diperbatasan antara Kecamatan Talaga (Banjaran) dan Maja (Argapura). Bukit ini berada di “utara atas” dari “talaga” Sangiang.
Nama “garasiang” sendiri ada dua kemungkinan asal-usul. Pertama dari kata “grha” (rumah) dan “sanghyang” (yang suci, yang keramat, atau “yang di atas”). Jadi Garasiang artinya rumah (padepokan) yang suci. Ini seperti Garawastu (nama desa) yang berasal dari kata “grha” (rumah, pemukiman), dan “vastu” tempat (kompleks). Kedua, dari kata “arga” (gunung) dan “sanghyang, ” sehingga mengandung arti gunung (bukit) tempat para sanghyang atau yang disucikan/dikeramatkan.
Pengertian yang kedua tampaknya yang lebih logis. Garasiang (argasanghyang) itu gunung (bukit) tempat keramat (suci) karena ada tempat pemujaan dan padepokan kebudhaan.
4. Darmasuci II (Talaga Manggung): “Raja Talaga”. Yang menjadi tampak agak “kontroversial” dengan Bagawan Garasiang adalah sebagai penerus Darmasuci I kenapa tidak disebut “Darmasuci II”? Jadi, Bagawan Garasiang diduga sebenarnya tidak pernah memerintah “kerajaan-kebataraan” Talaga. Ia menjadi bagawan di padepokan Garasiang, tidak di “kerajaan.” Itulah sebabnya kenapa sebutan Darmasuci II justru diberikan kepada adiknya yang kemudian dijuluki Sunan Talaga Manggung, ini pasti berkaitan dengan “pewarisan tahta kerajaan-kebataran” dari Darmasuci I ke Darmasuci II.
Ali Sastramijaya pun tidak menyebut Bagawan Garasiang sebagai pelanjut “tahta” Kerajaan Talaga yang disebut langsung penerusnya adalah Talaga Manggung. Talaga Manggung ini sebelumnya, konon, bergelar Darmasuci II.
Jika dirunut, maka sebenarnya “Kerajaan Talaga” itu mungkin saja baru benar-benar menjadi suatu kerajaan, bukan lagi padepokan kebataraan atau kerajaan-kebataran dengan nama Kerajaan Talaga,
Talaga itu danau kawah yang besar, atau “situ” (danau alami) yang besar. Talaga atau situ dimaksud adalah yang sekarang disebut Situ Sangiang. Adakah kemungkinan nama “situ” ini aslinya Sanghyang Talaga Dharma Agung (seperti Sanghyang Talaga Rena Mahawijaya yang disebut dalam Prasasti Batutulis)? Nama kerajaan diduga mengikuti daerahnya yang dekat atau mempunyai sebuah telaga keramat (“sanghyang talaga”), sehingga disebut Talaga.
Kenapa nama Talaga itu baru ada masa Talaga Manggung? Batara Gunung Bitung jelas berada di Gunung Bitung. Darmasuci I tidak jelas sebagai apa dan di mana (kemungkinan juga masih di Gunung Bitung, atau di Darmalarang). Anak pertama Darmasuci I, yaitu Bagawan Garasiang, banyak menghabiskan waktunya di padepokan Garasiang. Belum ada “raja” yang disebut-sebut menggunakan “nama tempat/kerajaan” dengan nama Talaga (yang ada dengan nama Gunung Bitung dan Garasiang). Baru pada masa Raden Darmasuci II ada sebutan “Sunan Talaga.”
Jadi kemungkinan besar Darmasuci II itulah yang mendirikan “kerajaan” dekat sebuah situ. Situ itu disebut orang-orang ketika itu “talaga” (dari bahasa Sansekesrta “tadaga” artinya danau). Karena pusat pemerintahan berada di dekat talaga (“situ”), kerajaannya disebut Kerajaan Talaga. Oleh karena itulah maka Darmasuci II diberi julukan sebagai Sunan Talaga Manggung. Andaikata tidak pakai kata “manggung,” jadilah ia Sunan Talaga, sunan yang memerintah di Kerajaan Talaga. Ini akan sama dengan Sunan Cungkilak yang memimpin di daerah Cungkilak (dekat Campaga, Talaga sekarang), Sunan Benda di daerah Benda (belum terlacak, tentu daerah yang banyak pohon benda atau “bendo” (Jawa), alias teureup kata orang Sunda, dan Sunan Wanaperih (wana = hutan; perih/prih/preh = sejenis beringin).
Perubahan nama julukan itu wajar dilakukan seperti terjadi pada Pangeran Walangsungsang yang semula diberi gelar Pangeran Cakrabumi kemudian berubah jadi Pangeran Cakrabuana. Ini ceritranya;
Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat kemudian digantikan oleh menantunya yang bernama Walangsungsang putra Prabu Siliwanggi dari Pajajaran. Walangsungsang ditunjuk dan diangkat sebagai Adipati Carbon dengan gelar Cakrabumi. Kewajibannya adalah membawa upeti kepada Raja di ibukota Rajagaluh yang berbentuk hasil bumi, akan tetapi setelah merasa kuat meniadakan pengiriman upeti, akibatnya Raja mengirim bala tentara, tetapi Cakrabumi berhasil mempertahankannya.
Kemudian Cakrabumi memproklamasikan kemerdekaannya dan mendirikan kerajaan Cirebon dengan mamakai gelar Cakrabuana. Karena Cakrabuana telah memeluk agama Islam dan pemerintahannya telah menandai mulainya kerajaan kerajaan Islam Cirebon, tetapi masih tetap ada hubungan dengan kerajaan Hindu Pajajaran.
Semenjak itu pelabuhan kecil Muara Jati menjadi besar, karena bertambahnya lalu lintas dari dan ke arah pedalaman, menjual hasil setempat sejauh daerah pedalaman Asia Tengara. Dari sinilah awal berangkat nama Cirebon hingga menjadi kota besar sampai sekarang ini.
Pangeran Cakra Buana kemudian membangun Keraton Pakungwati sekitar Tahun 1430 M, yang letaknya sekarang di dalam Komplek Keraton Kasepuhan Cirebon.
Catatan penting:
Andaikata tahun pemerintahan Ajiguna Linggawisesa (1333-1340 M.) dipakai sebagai dasar merunut berdirinya Kerajaan Talaga, maka jika dibuat rerata memerintah 40 tahunan, Suryadewata memerintah tahun 1340-1380, Batara Gunung Picung (Bitung) mengelola kebataraan Gunung Bitung pada tahun 1380-1420, Darmasuci I pada tahun 1420-1460, Bagawan Garasiang pada tahun dianggap tidak memerintah dan Darmasuci II pada tahun 1460-1500. Jadi, Kerajaan Talaga itu mulai ada sebagai kerajaan sekitar tahun 1460-an yang didirikan oleh Sunan Talaga Manggung.
5. Gelar Talaga Manggung. Sekali lagi harus disepakati bahwa nama kerajaan Talaga itu Talaga, bukan Talaga Manggung. Entah kenapa Darmasuci II diberi julukan Sunan Talaga Manggung. Salah satu kemungkinan adalah sebenarnya julukannya itu Dharmaagung. Dharmaagung merupakan peningkatan dari Dharmasuci. Oleh karena hipotetis Dharmasuci II yang memulai mendirikan Kerajaan Talaga sebagai yang benar-benar kerajaan maka sebutannya sekaligus ditunjukkan dengan nama kerajaannya. Jadilah julukannya Sunan Talaga, “Susuhunan Talaga.” karena ia pun juga “membagawan” atau “membatara” (“pandita-sinatria, satria pinandita” atau “batara-sinatria, satria-binatara“) dalam tataran puncak darma kebudhaan, diberilah juga julukan Dharmaagung, sebagai sang raja yang memerintah kerajaan sekaligus memangku tugas “kebagawanan/kebataraan.” Jadilah ia “Susuhunan Talaga Dharmagung.”
Bandingkan dengan gelar Sunan Gunung Jati “Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.” Sebagai “pejabat pemerintahan ia digelari “Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan,” dengan penegasan tempat “di Jati Purba.” Sebagai pemimpin agama ia dijuluki “Panetep Panatagama” sekaligus diyakini mempunyai derajat sebagai “Wali Allah, Kutub Zaman, dan Khalifah Rasulullah.” Begitulah bisa yang terjadi dengan Darmasuci II. Ia diberi gelar “Sunan” (susuhunan) menurut versi Sunda, yang berarti orang yang dimuliakan, yang “disusuhun luhureun sirah” (“nu sinembah ku asta kalih”).
Jadi, jika mengikut gelar Sunan Gunung Jati, maka gelarnya akan menjadi Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Talaga. Karena ia juga bawagan-sinatria yang mengemban tuga kewajiban darma kenegaraan dan keagamaan, diberi gelar pula ia dengan gelaran Sang Darmaagung . Lengkapnya jadilah gelarnya Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Talaga Dharmaagung, tersingkat menjadi Sunan Talaga Darmaagung.
Ada kemungkinan dalam pelisanan kata “Dharmaagung” itu luluh berubah menjadi “Dharmagung.” Lalu karena pengaruh pelisanan, dongeng “saur sepuh” nu “tutur tinular,” kata “Dharmagung” itu berubah lagi menjadi “Magung,” dan lama-lama menjadi “Manggung.” Ini karena istilah “manggung” lebih dikenal baik oleh pelisan Sunda modern.
Kemungkinan lain pada saat penyalinan dari naskah asli, tulisan “Sunan Talagadharmagung” dalam aksara Sunda (hipotetis) itu ada yang tak terbaca sebagian, menjadi “Sunan Talaga…gung” (aksara Sunda “cacarakan” tidak ada spasi antar kata, tapi mengenal huruf besar), yang lalu “ditebak” sebagai “Sunan Talaga Manggung.”
Kemungkinan kedua, sebenarnya tertulis “Sunan Talaga Ma Agung” yang mengandung arti Sunan (Raja Kerajaan) Talaga (yang diharapkan) semoga agung. Kata “ma” yang berarti semoga atau diharapkan dalam bahasa Sunda buhun ada dalam “prasasti Kawali 2″ yang berbunyi demikian.
Aya ma nu ngeusi bhagya kawali bari pakena kereta bener pakeun na(n)jeur na juritan. [Semoga ada (mereka) yang kemudian mengisi (negeri) Kawali ini dengan kebahagiaan sambil membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang]. Tapi, kalau toh harus mempersoalkan kata “manggung,” rasanya (berdasarkan kebudhaan), kata manggung sebagai perubahan dari kata Dharmagung (Dharmagung–”dharma kang agung”) lebih logis, sepertti Lurah Agung (jurang dangkal/lembah gede) menjadi Luragung (lurah-nya jadi rada hilang).
Jadi, sebenarnya Talaga Manggung itu Tumenggung Talaga. Tambahan gelar Sunan sebagai pelengkap saja (ini jelas setelah masa para wali). Dengan kata lain, gelar Talaga Manggung yang sesungguhnya bisa jadi Raden Darmasuci II, yang kemudian diubah menjadi Raden Tumenggung Talaga (“Tumung’gung de Telaga,”). Gelar tersebut kemungkinan diperoleh dari Galuh/Pajajaran, yang sekaligus berfungsi sebagai pengukuhan akan adanya “katumenggungan Talaga” (bukan Kerajaan Talaga, hanya semacam “kabupaten”), sebagai bagian dari Kerajaan Galuh/Pajajaran.
Ingat pula bahwa Sunan Gunung Jati itu selain diberi gelar Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba, menurut “Gunung Sepuh’s blog” diberi gelar juga sebagai “tumenggung.”
Syarif Hidayatullah (1448-1568) setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai ”Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah”.
Gelar Tumenggung diberikan karena Cirebon termasuk bagian atau wilayah dari kepemimpinan Demak, bukan “kerajaan” atau “kesultanan” yang mandiri.
6. Runtutan Historis Pendirian Kerajaan Talaga. Dari paparan di atas, jika dirunut asal mula berdirinya Kerajaan Talaga itu, maka dapat dikatakan sebagai berikut:
a. Padepokan agama Budha di Gunung Bitung. Padepokan ini berada di sebelah utara Kawali (ibu kota Kerajaan Galuh, Ciamis utara sekarang), di wilayah Cikijing bagian selatan sekarang. Padepokan ini dipimpin oleh Bagawan Gunung Bitung (Raden Sudhayasa putra Raden Suryadewata). Padepokan ini dilanjutkan oleh putranya yang bergelar Darmasuci I. Dengan gelar Darmasuci (berdharma dalam pemerintahan) ini ada kemungkinan “padepokan”kebudhaan yang dipimpinnya sudah mulai “masuk” ke cikal bakal kerajaan, tetapi masih sebagai “kerajaan-kebataraan.” artinya padepokan Darmasuci itu tidak sekedar padepokan saja, tetapi sekaligus mengendalikan pemerintahan rakyat setempat.
Padepokan ini kemungkinan masih di Gunung Bitung, agak jauh di selatan situ “Sanghiyang Talaga” sekarang. Tapi, bukan mustahil pula karena tidak ada catatan yang pasti, “padepokan” Darmasuci itu berada di desa Darmalarang sekarang. Jadi Darmasuci menggeser pusat padepokan Budha dari Gunung Bitung ke arah lebih utara, dan karena sudah mulai “jauh” dari Kawali (Galuh) itulah maka seperti satu kerajaan tersendiri, dengan wilayah kekuasaan (pemerintahan) sendiri dengan jumlah rakyat yang cukup banyak. Sebutan Darmalarang mungkin berasal dari nama Darmasuci. “Larang” itu, menurut Kamus Jawa Kawi Indonesia, dapat mengandung arti “terlarang,” tidak sembarang orang boleh dan bisa memasukinya, dapat pula berarti menyendiri (menyepi) atau mengasingkan diri, dapat pula berarti suci. Jadi, tempat Darmasuci berada–khususnya tempat pemujaan dan sejenisnyapun dianggap “suci” juga hingga terlarang memasukinya dengan sembarangan. Darmasuci, jadinya, sama dengan Darmalarang. Sekali lagi ini hipotesis, dugaan.
Putranya Bagawan Garasiang, “bergeser” lebih ke utara lagi, ke dekat puncak Ciremay sebelah barat, “menyeberangi talaga Sangiang,” arah atas utara timurnya yang disebut Pasir Garasiang (seperti telah disebutkan, kemungkinan besar berasal dari kata “Arga Sanghyang”–gunung Sang Hiyang, bukit suci) ia mendirikan padepokan. Karenanya ia berjuluk sesuai nama tempatnya, Bagawan Garasiang. Berdasar ini maka wajar pula jika selain ada “arga” (gunung) ada pula “tadaga” (talaga) Sanghyang yang diangap “suci” oleh masyarakat setempat saat itu.
Talaga yang diduga dianggap suci (“Sanghiyang Tadaga”) itu tidak sembarang orang boleh memasukinya apalagi menempatinya. Jadi, Bagawan Garasiang (nama aslinya tidak diketahui) mendirikan padepokan di barat lautnya (utara agak ke barat), tidak “di dalam” kawasan Situ Sangiang. Darmasuci II (yang juga tidak diketahui nama aslinya) mendirikan pemukiman di sebelah baratnya, juga bukan di kawasan Situ Sangiang. Pada saat-saat tertentu (upacara dsb) baik Bagawan Garasiang maupun Darmasuci baru masuk ke kawasan ini.
Kerajaan diberi nama dengan Talaga tidak harus berarti berada di talaga (situ), tetapi bisa karena dekat talaga, dan atau mempunyai talaga (yang disucikan alias “keramat”) itu. “Sanghyang Tadaga” yang disucikan itu pasti lazimnya juga saat itu untuk pemakaman. Sekarang memang untuk pemakaman orang-orang tertentu yang “dikeramatkan” atau “mempunyai karomah” (kemuliaan). Antara lain dipercaya ada makam Sunan Parung (tampaknya lebih dimaksud Parung Gangsa atau Ragamantri yang bersama putri dan menantunya diperkirakan masuk Islam sekitar tahun 1530 M.
Makam Sunan Parung (Parunggangsa?) di Situ Sangiang.
Darmasuci II bermukim di bawah talaga yang sekarang disebut Situ Sangiang. “Di bawah talaga” itu ia secara resmi “memimpin” sebuah tempat yang kemudian di bawah kepemimpinannya menjadi besar, dan jadilah sebuah “dayeuh gede” (kota besar) untuk ukuran saat itu.
Tempat (“dayeuh”) itu dinamakan Walangsuji, karena aslinya banyak pohon walang dan pohon suji. Daun walang sebagai bumbu dapur (jenis kunir-kuniran) dan obat, pohon suji daunnya dipakai pewarna hijau berbagai makanan. Itu terjadi (dugaan analisis) sekitar pertengahan abad XV. Oleh karena “kebesarannya” itu, maka penduduk daerah-daerah lain yang dipimpin oleh “murid-murid” kakek-buyut dan uwa-pamannya (Batara Gunung Bitung, Bagawan Darmasuci I, Bagawan Garasiang dll) mengakuinya sebagai “seorang raja.” Kerajaannya karena dekat atau punya “Sanghiyang Talaga” yang disucikan disebut sebagai Kerajaan Talaga yang lalu seolah lepas dari Galuh Kawali. Ia sendiri lalu disebut tidak lagi sebagai Dharmasuci, melainkan meningkat menjadi Dharmaagung (Dharmagung–> Magung–> Manggung).
Seperti disebutkan, bisa jadi juga “Kerajaan” Talaga itu diakui keberadaannya mulai saat Raden Darmasuci II yang kemudian dikukuhkan sebagai suatu ketumenggungan (dari Pajajaran/Pakuan/Galuh). Pemimpinnya lalu disebut dengan Tumenggung Talaga. Hanya saja, tidak jelas kenapa keturunannya tidak ada yang disebut Tumenggung tapi semuanya menggunakan gelar Sunan. Mungkin juga dugaan karena para penulis “wawacan” atau “kanda” Talaga itu sudah terpengaruh budaya Mataram (abad XVII) yang banyak menggunakan istilah “susuhunan (sunan)” bagi para bangsawannya, maka dalam “naskah” buatan baru itu semuanya disebut dengan “Sunan” (untuk raja) dan “Dalem” untuk “lurah” di bawah raja.
b. Prabu Darmasuci II (Prabu Talagamanggung). Prabu Darmasuci II (Prabu Talagamanggung) bersemayam di Talaga, keraton beliau terletak di Sangiang, dengan panorama situ keraton yang indah yang disebut Situ Sangiang. Menurut catur para sepuh Talagamanggung adalah seorang Narpati yang sakti mandraguna dan weduk (tidak tembus senjata). Beliau mempunyai sebuah senjata pusaka yang diberi nama "cis", bentuknya seperti tombak kecil atau sekin. Konon, bahwa beliau ketika lahir tidak memiliki pusar seperti halnya orang pada umumnya. Menurut ceritera pula Prabu Talagamanggung hanya mempan ditembus senjata oleh senjata CIS-nya itu.
Pada masa pemerintahan Prabu Talagamanggung Kerajaan Talaga mengalami kemajuan yang gilang-gemilang dan kondisi sosial masyarakatnya semakian tentram dan mapan. Dengan demikian banyak orang yang berasal dari negara dan daerah lain ikut menetap di Talaga.
Prabu Talagamanggung mempunyai seorang menantu yang berasal dari Bangsawan Palembang yang bernama Palembangunung (suami Putri Dewi Simbarkancana), pada suatu kesempatan Palembanggunung mengadakan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari mertuanya. Akhirnya Palembanggunung dengan komplotannya, melalui oleh seorang pengawal pribadi Sang Prabu, Centrangbarang (yang ditugaskan mengurus senjata) ia berhasil mencuri senjata CIS tersebut dan memberikannya kepada Palembanggunung yang kemudian digunakan untuk menusuk tubuh Sang Prabu. Dalam peristiwa itu Prabu Talagamanggung terluka dan kemudian tubuhnya menjadi lemas dan akhirnya meninggal. Jenazah beliau diurus sesuai ajaran Agama Hindu Kahiyangan, abu jenazahnya di larung di Situ Sangiang.
Pada masa hidupnya, Prabu Talagamanggung mempunyai satu orang putera dan satu orang puteri Raden Panglurah dan Raden Dewi Simbarkancana.
c. Raden Panglurah. Dari usia kecil ia sudah rajin melatih diri, berangkat ke Gunung Bitung, beliau bertapa di bekas bertapa uyut beliau, Ratu Ponggang Sang Romahiyang. Raden Panglurah adalah seorang sosok putera penguasa seorang raja yang memiliki sifat-sifat zuhud, meninggalkan kesenangan dunia dan lebih memilih untuk mengolah jiwa dan mengembangkan asfek-asfek spiritual yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya dengan kata lain Radan Panglurah lebih memilih ketentraman dan kesenangan ruhani serta penghambaan kepada Tuhan Semesta alam.
d. Raden Dewi Simbarkancana. Raden Dewi Simbarkancana walaupun seorang puteri beliau banyak memiliki sifat-sifat kepemimpinan yang diwarisi ayahanda beliau Prabu Talagamanggung. Beliau menikah dengan Palembanggunung, Pepatih kerajaan. Pada mulanya Dewi Simbarkancana tidak mengetahui bahwa kematian ayahanda beliau itu didalangi suaminya sendiri, akan tetapi sabuni-bunina mungkus tarasi lambat laun kebusukan sang suami diketahui juga oleh beliau. Sepeninggal Prabu Talagamanggung, Kerajaan Talaga untuk sementara waktu dikuasai oleh Palembanggunung.
Dewi Simbarkancana merasa sangat terpukul, beliau ceurik balilihan (menangis dengan sangat menderita batin) karena dua hal: pertama, karena beliau dihianati oleh suami beliau sendiri; yang kedua, karena ditinggal oleh ayahanda tercinta dengan peristiwa yang memilukan. Menurut beliau, siapa orangnya yang tidak berduka hati ketika ditinggal sang ayah. Ayahanda beliau, sesorang yang sudah berbuat baik mengangkat derajat Palembanggunung dibalas dengan perilaku yang sangat keji. Air susu dibalas air tuba itulah yang terjadi. Akhirnya dengan keberanian beliau, Dewi Simbarkancana berhasil membunuh Palembanggunung dengan susuk kondenya.
Selanjutnya Raden Dewi Simbarkancana menikah dengan Raden Kusumalaya (Raden Palinggih) dari keraton Galuh, putera dari Prabu Ningrat Kancana. Beliau adalah seorang yang masagi pangarti (cakap lahir batin), seorang tabib dan ahli strategi. Beliau berhasil menumpas tuntas gerakan bawah tanah Palembanggunung dan komplotannya, dengan demikian kekuasaan dapat diambil kembali, keamanan dan ketertiban negara kembali menjadi stabil dan kokoh.
Dari pernikahan Dewi Simbarkancana dengan Raden Kusumalaya membuahkan delapan orang putera, yaitu:
1. Sunan Parung (Batara Sukawayana);
2. Sunan Cihaur, (Mangkurat Mangkureja);
3. Sunan Gunung Bungbulang;
4. Sunan Cengal (Kerok Batok);[7]
5. Sunan Jero Kaso;
6. Sunan Kuntul Putih;
7. Sunan Ciburang; dan
8. Sunan Tegalcau.[8]
e. Sunan Parung. Sepeninggal Ratu Simbarkancana, Kerajaan Talaga dipegang oleh putera sulung beliau yang mendapat julukan Sunan Parung (1450 M). Setelah Sunan Parung mangkat, pemerintahan diserahkan kepada satu-satunya puteri beliau yang bernama Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M) yang dikemudian hari mendapat julukan Ratu Parung.
Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) menikah dengan Raden Ragamantri, putera Prabu Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari Begawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu Siliwangi II (Jaya Dewata atau Pamanah Rasa). Pada masa pemerintahan Dewi Sunyalarang inilah pusat kerajaan dipindahkan ke Parung.
e. Ratu Dewi Sunyalarang dan Raden Ragamantri Masuk Islam.
Pada tahun 1529 Ratu Parung dan Raden Ragamantri mengucapkan syahadatain, masuk agama Islam, melalui dakwah Sunan Gunung Djati yang dibantu para da’i Cirebon. Selanjutnya Sunan Gunung Djati (Syaikh Syarif Hidayatullah) memberikan gelar Prabu Pucuk Umum Talaga kepada Raden Ragamantri sebagai bentuk penghormatan kepada beliau dan keluarga besar Talaga serta ungkapan rasa syukur ke Hadhirat Allah Ta'ala.
Hasil pernikahan Ratu Parung, Ratu Sunyalarang dengan Raden Raganantri, Prabu Pucuk Umum Talaga dikaruniai enam putra, yaitu:
1. Prabu Haur Kuning;
2. Aria Kikis, Sunan Wanaperih;
3. Dalem Lumaju Ageng Maja;
4. Sunan Umbuluar Santoan Singandaru;
5. Dalem Panungtung Girilawungan Majelengka; dan
6. Dalem Panaekan.
Ratu Dewi Sunyalarang pada awalnya dimakamkan di tepi Sungai Cilutung, dan demi keamanan dan pengikisan oleh air kemudian makam beliau dipindahkan ke makam keluarga Raden Natakusumah di Cikiray oleh Raden Acap Kartadilaga pada tahun 1959 M. Sedangkan Raden Ragamantri dimakamkan di tepi Situ Sangiang, makamnya diketemukan pada hari Senin, 22 Rajab 1424 H. atau bertepatan dengan 22 September 2003. Kuburan beliau terletak diluar bangunan utama tempat penjiarahan, persisnya di bawah rindangnya pepohonan besar ditandai dengan sebatang pohon rotan[10]. Sesuai saran beliau, kuburannya ditandai tiga buah batu biasa sebagi batu nisan.[11]
f. Perang Talaga Pada Masa Pemerintahan Arya Kikis. Pada generasi kedua masa pemerintahan Islam Talaga, sepeninggal Ratu Parung, Talaga dipimpin oleh Arya Kikis (Sunan Wanaperih), putera kedua Ratu Parung pada tahun 1550 M. Arya Kikis adalah seorang Narpati dan da'i Islam yang handal. Beliau mewarisi ketaatan yang tulus, ilmu-ilmu kanuragan dan ilmu-ilmu keislaman dari Sunan Gunung Djati. Salah satu cucu beliau adalah Raja Muda Cianjur, Raden Aria Wiratanudatar atau yang dikenal dengan Dalem Cikundul.
Diawali dangan ikut campurnya Demak untuk menarik upeti dari Talaga melalui Cirebon, sedangkan kondisi rakyat Kerajaan Talaga yang sangat memerlukan perhatian pemerintah (lagi susah), akhirnya permintaan Cirebon dan Demak untuk menarik upeti dari Talaga "ditolak". Selanjutnya, dengan tiba-tiba saja pasukan Cirebon yang dibantu Demak menyerang Talaga. Dengan demikian terjadilah peperangan hebat antara Pasukan Talaga yang dipimpin langsung oleh Senopati Arya Kikis melawan pasukan penyerobot dari Cirebon dan Demak. (Bersambung…)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar